Aku Adalah Anak Gembala
Aku adalah seorang anak gembala. Tinggal jauh dari perkotaan Paris. Aku selalu mendengar kata-kata orang tentang kota Paris. Katanya itu tempat yang indah, sering disebut Kota Cinta atau Kota Asmara. Apa itu cinta? Aku tidak mengenalnya sejak kecil. Asmara? Mana mungkin ada wanita yang mau jatuh cinta pada orang miskin dan gembel sepertiku. Hidupku seluruhnya hanya ditakdirkan untuk menggembalakan sapi dan kambing di lapangan ini. Tapi ntah janggal atau sombong, aku ingin ke kota itu, suatu saat nanti… tapi bagaimana? Begitulah bayang-bayangku setiap bangun padi dari atas kasurku yang reyot, bahkan sudah bau apek. Aku sudah mengatakan pada majikanku untuk menggantinya, tapi dia tetap enggan, dengan alasan mengatakan aku adalah pemalas. Sudah cukup sering aku menahan sabar terhadap majikanku, tapi apa daya, ini satu-satunya pekerjaan yang kumiliki. Dipecat berarti tidak makan. Aku sendiri masih kurang berani untuk hidup seperti orang jalanan, meminta makan dan uang dari rumah ke rumah. Aku belum punya cukup nyali untuk itu. Aduh….. kutu kasurku sekali lagi menggigitku, badanku sudah cukup banyak bentolan dan cakaran karena selalu kugaruk dengan kuku kotorku. Infeksi atau tidak sudah tidak kupikirkan, yang penting setelah kugaruk, terasa lebih enakan, dan itu sudah cukup. Seperti biasa, pagi harinya aku selalu bangun pukul 06.00. Ak tidak berani bangun telat, karena akan disiram air dingin oleh majikanku, dan jika mood nya lagi jelek, bisa-bisa aku tidak diberi makan siang, dan untuk makan malam hanya diberi makan sisa seperti yang diberikannya untuk binatang peliharaannya yang lain, yaitu babi. Aku tidak pernah memakannya, karena tidak merasa bahwa perutku cukup kuat untuk menahan makanan basi dan sisa seperti itu. Tapi, satu hal yang kusyukuri sampai saat ini, yaitu aku bukan bagian binatang gembalaan itu, babi. Sapiku tidak begitu banyak tapi kambingkulah yang terlalu banyak menurutku. Kambing-kambing lebih nakal daripada sapi, mereka lebih gesit dan suka berak di mana saja. Setiap pagi, aku membawa mereka ke lapangan rumput hijau di belakang rumah majikanku. Anehnya, rumput yang selalu dimakani sapi kambingku itu tidak pernah habis, sejak hampir 10 tahun aku tinggal di sini. Umurku 10 tahun. Aku selalu menganggap aku sudah dewasa, mengganggap badanku kekar seperti Arnold. Sekali-kali aku memang diperbolehkan nonton tv majikanku, itupun di malam Natal saat mereka sekeluarga keluar rumah, jadi aku menjadi satpam selama satu hari penuh. Aku merasa seperti tuan rumah, bukan satpam, karena aku bebas melakukan apa saja sejauh aku tidak menyentuh makanan di kulkas, mengotori ruangan, ataupun menyentuh barang pribadi mereka. Hahaha... lagi iseng mo nulis novel ^^
Unknown date, Unknown place Lagi melan…
Ga tau napa… semenjak kuliah mulai, pengen berubah. Pengen bisa bagi waktu, bisa kuliah, bisa BNCC, tapi tetap belajar, sama teman-teman kuliah tetap bisa contact meskipun berkurang. Awal-awal kuliah… rasa bete, rasa kesel, tasa kecewa, negative thinking, malas, neq, ga peduli ama sekitar, pokoknya semua yang jelek-jelek keluar deh… uda ga punya tujuan lagi, bahkan di BNCC dan hidup sendiri pun. Memang… kerjaan tetap dikerjain, tapi ga maksimal dan ngerjainnya cuma sekedar perasaan “ini harus dikerjakan”. Apa alasannya, apa tujuannya, kenapa harus begitu… sudah tidak ada… yang penting kerja…kerja… Apa hasilnya? Neq, bosen, malas ahh !! udah, bete, ga usah kerjain lagi… Udah ga peduli, rasa tanggung jawab juga uda ngga ada… Masalah curhat… uda ngga ngaruh, malas… Kesannya cari perhatian banget, nangis… Pengen dikasihani, seolah-olah “Oh, gpp… yang penting lu udah berusaja” Berusaha? Uda! Berusaha maksimal? Belum! Apa sih definisi maksimal? Soalnya… w ga pernah merasa kalo w uda maksimal. Ngobrol-ngobrol ama sesame panitia lain, yang mengatakan agar w jangan terlalu mendengarkan kritikan orang lain, kenapa? Karena… saat-saat seperti ini, koor-koor sangat diperhatikan atas “kesalahannya”. “Kalo lu merasa sudah berusaha semampumu, maka jangan terlalu masukkin ke hati, seperti w, w ga tau di belakang ada yang omongin w ato ngga, tapi yang penting, w merasa w uda berusaha semampu w, jadi ga usah langsung down dengar kritikan orang lain”. Sebenarnya, w setuju apa yang yang dia katakana. Tapi, masalahnya, w melihat dia memang begitu, tapi w… w merasa w belum maksimal, masih mood-moodan. W benci sikap w di depan orang yang … (tidak dilanjutkan…)
Kamis, 25 November 2004
Kos Ndok
Kejadian hari ini...
Ahhhhhhh.......... lega juga rasanya ujian SBD (Sistem Basis Data) sudah selesai, tapi ngeselin juga, ada satu soal kagak selesai. Huhhhh.............. gara-gara penjaganya ngga bolehin pakai handphone jadi jam. Aku malah dipaksa simpan tuh handphone di tas, padahal itu penunjuk waktu ujianku. Huhhh.... nyebelin.... apa lain kali aku langgar aja ya??? Hehehe..... Kejadian ini termasuk salah satu ciri loser bukan ya, yaitu “Blame”. Tau deh..... habis ujian ada teman curhat tentang cara pengajaran dosen, yang jarang memberikan tugas soal-soal coding SQL, sehingga anak-anak tidak terbiasa mengerjakan soal, dan beberapa hal lainnya juga. Aku coba menjelaskan bahwa bukan salah dosen, karena aku pernah dijelasin mengenai hal ini. Dosen punya cara berbeda-beda dalam pengajaran, dan aku yakin mereka punya tujuan di balik itu. Mungkin dia ingin mahasiswa lebih aktif seperti halnya definisi “mahasiswa” itu sendiri, yang sudah berbeda dengan “siswa SMU” yang harus disuapin pelajaran. Mahasiswa dituntut harus lebih aktif dan kritis. Dan Elly percaya bahwa dengan cara apapun seorang dosen mengajar, pasti ada at least 1 orang yang akan komplain. ^^ kita tidak mungkin bisa menyenangkan semua orang secara merata bukan?
Hari ini ada 3 kejadian yang ingin Elly ceritakan :
1. Elly nipu tukang fotokopi. Hihihi.....
Anak-anak Binus pasti paling mengerti kalau dekat ujian atau saat ujian, fotokopian pasti ramai banget, antrian panjang, dan bahkan bisa nungggu berjam-jam. Hampir sama seperti beli sembako kalau lagi krisis ekonomi. Ceritanya Elly ama teman, Angel, mau fotokopi jawaban Akuntansi Keuangan, dan mau nyoba kalau fotokopi kita bisa diduluin ketimbang pesanan fotokopi lain yang ditinggal. “Bisa fotokopi Mas?”, kataku. “Lama loh...”, dibalasnya. “Banyak yang ditinggal ya pesanannya? ..... tapi ini Cuma 3 lembar saja, bisa?” tanyaku. Sang mas pun bertanya ke temannya yang lain kalau permintaan Elly bisa atau ngga. “Cuma 3 lembar? Ya udah, bolehlah” balasnya. Hihihi...... Angel bingung melihat Elly. Akhirnya ketika dikeluarin, ternyata 7 lembar, hueheuheuhe..... awalnya yang janji fotokopi 1 rangkap ditambah jadi 2 rangkap. Akhirnya selesai deh fotokopi dalam waktu singkat. Kelihatan pula toko fotokopi di samping banyak yang lagi ngantri. Duluannnnn yaaa........ hehe..
Hum...sadar ngga sadar kok jadi teringat teori negosiasi ya, yaitu membuat lawan negosiasi mengiyakan pernyataan kita dulu, setelah itu hum... lupa teorinya. Tapi yang pasti, dari kejadian di atas, setelah pernyataan kita disetujui, plintir-plintir dikit dan bawa-bawa becanda dikit, pasti jadi. Hehe..... Tapi... dosa ngga ya?
2. Elly kalah nego dari penjual buku
Huhh.... mungkin karena habis boong kali ya, Elly kalah nego buku yang harusnya Rp. 55 ribu yang akhirnya Elly bayar Rp. 58 ribu. Huhh... selain itu, dia malah mau beli buku Database Systems punyanya Ndok, dengan harga Rp. 20 ribu + buku Cost Accounting yang mau Elly beli. Yah..jelas-jelas Elly kagak mau lah, jelas-jelas buku Database Systems lebih mahal (asli), apalagi punya Ndok, dan lagi tambah dosa, karena dia mau pakai buku Elly eh buku Ndok untuk dibajak. Tapi....hum...Elly kan lagi bokek, lumayan kan dapat Rp. 20 ribu ;p hehhe...kagak boleh!!!!
3. Ini nih..Elly pikir karma baik Elly. Hehehe...ntah kenapa hari ini kok malah teringat hal-hal kecil seperti ini yah..tapi lagi pengen cerita. Elly lagi mo beli makan, pas masuk, tiba-tiba Mbaknya masuk langsung nanyain Elly mau beli apa, padahal orang lain pada ngantri di sisi lainnya. Huahauhuahuahahaha..... ga lucu ya??? Hum...
Ternyata kalau sedang jalan kaki, dan ketemu dengan orang-orang yang dikenal, benar-benar menyenangkan ya.... Muka yang awalnya masam bisa jadi lebih fleksibel buat senyum. Bisa ilangin stres juga loh.... meskipun Cuma “hi and bye”. Oh ya, ada yang pernah ngerasain ngga, kalau lagi jalan, ketemu banyak orang yang kita kenal, kita tuh seolah-olah seperti artis yang lagi jalan. Perasaan ini kadang sering timbul, seperti terbang ke awan, tapi kalau udah sadar, apaan sih....kok jadi sok artis, malu-maluin aja. Pernah ngga? Apalagi....kalau jalan ama teman yang sampai tempat tujuan hanya diam doank, alias tidak nyapa-menyapa. Wuahhhhh....besarnya kepala udah ngga keitung, kayak orang terkenal dan supel aja. Padahal belum tentu, hihihi..... banyak juga yang kita sapa belum tentu dekat atau malah sudah lupa namanya (mungkin juga dia juga sebaliknya). Tats why, menurut hasil survey Elly, kalau ngeliat teman yang nyapa “hi” tanpa nama, maka 85% dia pasti lupa nama kita ^^.
Oh iya, ada quote yang pengen dishare nih, taunya dari Ndok, dan Ndok taunya dari apa gitu, pokoknya dari sumber lain juga...
(setelah mencium bibir gadisnya, si pria berkata) “Ingin aku menghapus bekas bibirku di bibirmu dengan bibirku”
See? Bisa diterapkan pada pasangan Anda, baik cowo maupun cewe ^^
Kos Ndok ...
Selasa, 23 November 2004
Waktu Ujian
Hari ini hari pertama ujian semester 5, Anapersis (Analisis dan Perancangan Sistem). Sejenak tiba-tiba ingin menulis. Ketika keluar ruang ujian pasti kita selalu bingung akan berbuat apa, tepatnya ketika ada teman yang curhat mengenai kesalahan atau kesilapan yang dilakukannya di kertas ujian, bahkan menjadi sangat kesal sekali. Apa yang bisa kita perbuat mendengar itu? Tidak ada. Sehingga banyak orang memilih untuk tidak membahas jawabannya di luar kelas, dan langsung pulang ataupun pergi makan. Pertanyaannya adalah : Adakah gunanya membahas jawaban soal di luar kelas? Mungkin kita jadi tahu jawaban yang sebenarnya, dan kadang juga berharap semoga jawaban yang kita tebak ternyata benar. Nyeseknya kalau menyadari sesuatu yang silap dan harusnya kesalahan itu tidak kita lakukan, apalagi kalau kita merasa bahwa jawaban kita sudah pasti benar.
Begitulah setiap kali ujian aku selalu terakhir keluar. Aku belum begitu bisa membagi waktu untuk pengisian masing-masing pertanyaan. Aku selalu lama di soal pertama atau teori yang bahkan menghabiskan setengah waktu atau lebih. Sisanya setengah waktu lagi bukan? Bukankah masih banyak waktu untuk mengerjakan kasus? Tidak, salah. 30 menit pertama selalu kupakai untuk skimming semua bahan yang telah kubaca, sisa waktu itulah yang setengahnya, bahkan biasa lebih dipakai untuk teori, dan sisanya setengah waktu lagi atau kurang. Misalnya ujian hari ini yang 100 menit, untuk soal kasus hanya kupakai 20 menit menjawabnya, bahkan untuk class diagram yang perlu analisa aku lakukan saat pengawas memberi tanda bahwa waktu sudah habis? Hehe..itulah aku, terlalu perfeksionis terhadap jawaban dan lupa mengalokasikan waktu untuk soal lainnya akan membunuh kita sendiri dalam ujian.
Kos Ndok ...
Selasa, 23 November 2004
Waktu Ujian
Hari ini hari pertama ujian semester 5, Anapersis (Analisis dan Perancangan Sistem). Sejenak tiba-tiba ingin menulis. Ketika keluar ruang ujian pasti kita selalu bingung akan berbuat apa, tepatnya ketika ada teman yang curhat mengenai kesalahan atau kesilapan yang dilakukannya di kertas ujian, bahkan menjadi sangat kesal sekali. Apa yang bisa kita perbuat mendengar itu? Tidak ada. Sehingga banyak orang memilih untuk tidak membahas jawabannya di luar kelas, dan langsung pulang ataupun pergi makan. Pertanyaannya adalah : Adakah gunanya membahas jawaban soal di luar kelas? Mungkin kita jadi tahu jawaban yang sebenarnya, dan kadang juga berharap semoga jawaban yang kita tebak ternyata benar. Nyeseknya kalau menyadari sesuatu yang silap dan harusnya kesalahan itu tidak kita lakukan, apalagi kalau kita merasa bahwa jawaban kita sudah pasti benar.
Begitulah setiap kali ujian aku selalu terakhir keluar. Aku belum begitu bisa membagi waktu untuk pengisian masing-masing pertanyaan. Aku selalu lama di soal pertama atau teori yang bahkan menghabiskan setengah waktu atau lebih. Sisanya setengah waktu lagi bukan? Bukankah masih banyak waktu untuk mengerjakan kasus? Tidak, salah. 30 menit pertama selalu kupakai untuk skimming semua bahan yang telah kubaca, sisa waktu itulah yang setengahnya, bahkan biasa lebih dipakai untuk teori, dan sisanya setengah waktu lagi atau kurang. Misalnya ujian hari ini yang 100 menit, untuk soal kasus hanya kupakai 20 menit menjawabnya, bahkan untuk class diagram yang perlu analisa aku lakukan saat pengawas memberi tanda bahwa waktu sudah habis? Hehe..itulah aku, terlalu perfeksionis terhadap jawaban dan lupa mengalokasikan waktu untuk soal lainnya akan membunuh kita sendiri dalam ujian.
Pengalaman di Panti Asuhan “Panti Boncel” Aku pergi ke panti Boncel bersama anak-anak BNCC, sebagai hasil kegiatan BNCC Charity yang baru BNCC adakan di bulan Oktober. Kebetulan ada tugas dari Pak dosen Character Building III “Relasi dengan Tuhan”, yang mana mahasiswa dianjurkan untuk mengunjungi panti asuhan, dan kemudian memberikan laporan hasil kunjungan. Pergi ke sana pasti ada tujuan dan manfaatnya. Kalau bagi aku, manfaatnya, adalah aku bisa tahu kehidupan mereka yang sudah ditinggalkan orang tua, baik sengaja maupun tidak, mental mereka, hubungan antar sesama mereka, dan yang paling penting, adalah aku mensyukuri bahwa papa dan mama menyayangiku. Mama sudah meninggal tahun yang lalu, tapi hatinya hidup di hatiku. Kadang aku merindukannya. Kadang aku bernostalgia akan dia. Kadang aku juga memimpikannya. Aku yakin dan percaya, mama masih memperhatikanku dari sana. Aku cinta mamaku... Ingatan akan mamaku barusan mengalir kental jika mengingat panti asuhan “Boncel”. Bagaimana tidak, mereka termasuk anak-anak yang kurang beruntung dalam keluarga. Tapi arti kata “tidak beruntung” tidak begitu berarti bagi sebagian dari mereka. Mereka tetap memiliki keluarga di sana, suster-suster yang menjaga mereka, teman-teman yang menemani mereka, dan orang-orang lain yang masih memperhatikan mereka. Jangan pernah ada rasa kasihan pada mereka, karena aku yakin mereka tidak akan suka dikasihani, seolah-olah mereka sudah cacat atau mati. Tidak. Mereka tidak suka akan itu, karena mereka masih memiliki impian, impianlah alasan mereka untuk tetap bertahan di tempat itu. “Suatu saat nanti, aku yakin aku pasti akan bisa kembali dan mencari orang tuaku”, begitu salah satu impian anak yang kami jumpai. Panti Boncel bukanlah tempat yang menyedihkan. Tempatnya terawat. Katanya panti itu punya banyak donor dan penyumbang. Ada taman bermain yang luas sekali. Banyak ruangan tidur dan ruangan kosong yang sebagian jadi ruang makan dan juga ruang bermain. Dekat pintu ada beberapa foto anak-anak, yang sedang berkunjung ke Taman Safari, merayakan ulang tahun teman-temannya, dan lainnya. Saat tiba, tempatnya masih sepi. Dimanakah anak-anak ini, kuberpikir. Temanku masih mengurus administrasi dan jadwal susunan acara untuk kunjungan kami. Menunggu itu, aku masih terus menikmati pemandangan tempat itu. Ahhh... rasanya seperti kembali ke dunia anak-anak. Badanku mulai gatal, saat melihat perosotan, ingin sekali main. Tapi, ada perasaan malu dan takut perosotan malah rusak karena badanku yang sudah raksasa ini. Perasaan malu, perasaan yang mulai tumbuh saat dewasa, malu bermain, malu berpenampilan biasa, malu bergaul dengan mereka yang miskin, malu menyebrangi orang tua buta, malu ini dan malu itu. Munafik sekali. Aku kangen rasa tidak tahu malu saat kanak-kanakku. Ah, ada suster. Setelah berkenalan, dia memberitahu kami bahwa anak-anak sedang berkeliling daerah sana untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri kepada seluruh warga. Aku tidak bisa membayangkan betapa lucunya mereka pasti. Manusia-manusia kecil yang kata orang kurang perhatian dan butuh perhatian, tapi kebalikannya, malah mereka yang memberi perhatian ke orang lain. Cukup lama kami menunggu. (suara anak kecil). Yap, sepertinya mereka sudah pulang. Hum... aku coba mengintip lewat dinding, tapi hanya kelihatan beberapa anak saja. Ooo.... yang lainnya menyusul pulang. Melihat mereka, canggung juga apa yang harus pertama kali aku lakukan. Kenalankah? Gendongkah? Menyapakah? Berpikir terlalu lama malah tidak ada jawaban, malah saat aku mulai berjalan, beberapa anak berlari dan mendekapku. Aku cukup kaget. Awalnya kukira mereka akan malu-malu seperti panti yang sebelumnya pernah kukunjungi, ternyata tidak, malah mereka lebih ramah, malah mereka lebih aktif. Benar, mereka butuh perhatian, mereka merindukannya, tapi ingat, mereka bukan butuh rasa kasihan. Mereka semua kelihatan terawat. Anak kecil, laki-laki, namanya.... lupa... astaga, aku sudah melupakan namanya hanya dalam beberapa hari. Akankah dia marah jika bertemu lagi? Aku yakin tidak, aku masih ingat jelas wajahnya, itulah yang terpenting. Dia menarik tanganku, ingin membawa aku jalan-jalan mengelilingi tempat itu. Hahaha... dia jadi tour guide ku di tempat itu. Mereka menarikku sambil berlari, beberapa malah minta digendong. Hahaha... Kenakalan memang masih khas milik anak-anak. Bagaimana tidak, ada satu anak yang buang sampah sembarangan, saat ditegur, malah dicuekin. Hahaha... Memaksa anak-anak juga kadang tidak terlalu baik, bukan cara mendidik yang cukup tepat. Akhirnya aku membuangnya di tong sampah tepat di depannya, berharap dia akan meniruku nantinya. Capek. Aku kenalan dengan seorang suster, namanya Suster Gordensia. Dia kelihatan masih muda. Kutebak, umurnya masih kepala 2 dan malah sepertinya di bawah 25. Aku kagum padanya, meninggalkan kepentingan pribadi, jalan-jalan ke mal, ngafe, ngegosip, dan memilih mengabdi di tempat itu menjaga anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya. Aku pun memulai percakapan dengannya. Ternyata dekat panti ini ada Biara, tempat tinggal para suster. Di sebelah panti ini juga ada sekolah TK khusus untuk anak-anak panti Boncel. Dan ternyata di panti ini hanya anak-anak seumuran tingkat TK. Jika mereka sudah memasuki umur yang cukup untuk tingkat SD, mereka akan dipindahkan ke panti lain, yang masih satu yayasan dengan panti Boncel, begitu pula jika sudah seumuran tingkat SLTP, akan dipindahkan lagi ke panti lain, dan seterusnya hingga SMU. Dekat semua panti itu ada sekolah sesuai tingkatannya. Setelah kupikir, manajemennya bagus sekali, sehingga mereka tetap akan tumbuh secara edukatif. Panti Boncel sendiri dibagi atas 5 ruang, yang disebut ruang 1, ruang 2, ruang 3, ruang 4, dan ruang 5. Masing-masing ruang ada namanya, tapi aku lupa. Pembagian juga didasarkan umur, mulai dari bayi yang belum bisa berjalan, hingga sekitar umur 5 tahun. Ruang bayi tidak boleh dimasuki pengunjung, hanya boleh melihat dari luar yang dibatasi dinding kaca. Masing-masing ruang tersusun rapi beberapa tempat tidur, kembar semua, baik ukuran, sprei, bantal, dan guling. Mungkin supaya tidak saling iri pikirku. Ketika aku bertanya, apakah mereka bisa saling mengiri, dia langsung mengiyakan dan itu sudah pasti. Sudah pasti ya, apalagi mereka tidak mencicipi perhatian orang tua yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini terbukti, ketika aku mulai merangkul anak-anak lain, anak laki-laki yang menjadi ‘tour guide’-ku mulai menarik-narikku menjauhi anak-anak lainnya. Dia juga tidak memperbolehkan aku menggendong anak lain. Hahaha... lucu juga, tapi tetap kurangkul dan kugendong anak lain. Kupikir, dia harus belajar untuk berbagi kepada teman-temannya yang sudah seperti keluarganya. Aku sempat main pesawat terbang dengan mereka. Caranya, aku menggendong mereka dan secara mendadak aku mengayunkan lenganku, seolah-olah mereka terlempar dan terbang. Cara ini cukup berhasil, anak-anak menyukainya. Celakanya, semuanya minta dimainin. Karena tidak tega, semuanya aku ‘terbangkan’. Hahaha... capek sekali, tapi gembira sekali. Tidak ada kepalsuan, tidak ada kepura-puraan, aku suka anak kecil. Uniknya lagi, di panti ini, semua anak-anak dari ras atau suku berbeda berkumpul bersama. Mereka saling bergaul tanpa memilih, atau malah mereka bukan menganggap itu perbedaankah? Baguslah jika begitu. Semoga mereka bisa membuktikan ke dunia luar bahwa perbedaan itu bukan untuk saling menjatuhkan, tapi saling mendukung dan membangun, seperti yang terjadi di panti ini. Mereka juga merayakan ulang tahun teman-temannya. Sistem ulang tahun pun sudah diatur di panti ini, tiap 3 bulan sekali, di akhir bulan ketiga terakhir, semua anak yang berulang tahun dalam selang 3 bulan itu akan dirayakan secara bersamaan. Supaya lebih hemat, pikirku. Hihihi... Tapi tetap ada sisi baiknya, kebersamaan akan lebih terasa jika dirayakan bersama. Akhirnya kita semua berkumpul di sebuah ruang kosong. Di sinilah kami akan membawakan acara kami. Anak-anak duduk berdasarkan ruangnya. Dan baru kusadari, ternyata baju mereka semua sama per ruangnya. Hahaha... Kita bernyanyi bersama, menyelenggarakan kuis, yang mereka sebut “tebak kata”. “Hewan apa yang badannya besar, tapi hidungnya kecil? Hayo... siapa yang tau. Dikasih hadiah loh...”, sang MC mulai merayu anak-anak. Panda, harimau, singa, dan hewan lainnya mulai disebutkan anak-anak. Suasananya ribut sekali, tapi terlihat antusias anak-anak. Terdengar teriakan “Beruang!”. “Yak, benar...”, sang MC membenarkan. Tapi mana anak yang menjawab tadi, sebab setelah dibenarkan oleh MC, semua anak-anak mulai menyebutkan “beruang” dan berharap mereka yang akan dipilih. Lucu sekali... Acara pun ditutup dengan doa setelah semua acara berlangsung. Pukul 12.00 an, anak-anak berkumpul di ruang makan sesuai ruangan masing-masing. Hari ini mereka makan ketupat yang diberikan oleh warga setempat, ketika mereka berkunjung. Pengunjung tidak diperbolehkan masuk saat mereka makan. Kami hanya bisa melihat mereka dari luar, dan tersenyum. Tidak lama kemudian, kami pun pamitan pulang. Sempat juga berfoto dengan suster Gordensia. Ahh.... capeknya. Usai sudah kunjungan kami. Tapi masih ada perasaan ingin kembali lagi suatu saat. Seperti yang telah aku ungkapkan di atas, mereka tidak butuh rasa kasihan, karena menurutku, jangan-jangan, malah mental mereka jauh lebih kuat daripada kita-kita, yang mungkin akan merengek jika tidak dibeliin sesuatu yang kita inginkan. Ironis sekali. Aku mulai bersyukur atas semua yang kumiliki, dan semoga suatu saat aku bisa melepaskan ego-ku untuk berbaginya dengan mereka yang kekurangan. Mama, aku cinta kamu. Papa, aku cinta kamu.
|