Aku Adalah Anak Gembala

Aku adalah seorang anak gembala. Tinggal jauh dari perkotaan Paris. Aku selalu mendengar kata-kata orang tentang kota Paris. Katanya itu tempat yang indah, sering disebut Kota Cinta atau Kota Asmara. Apa itu cinta? Aku tidak mengenalnya sejak kecil. Asmara? Mana mungkin ada wanita yang mau jatuh cinta pada orang miskin dan gembel sepertiku. Hidupku seluruhnya hanya ditakdirkan untuk menggembalakan sapi dan kambing di lapangan ini. Tapi ntah janggal atau sombong, aku ingin ke kota itu, suatu saat nanti… tapi bagaimana?

Begitulah bayang-bayangku setiap bangun padi dari atas kasurku yang reyot, bahkan sudah bau apek. Aku sudah mengatakan pada majikanku untuk menggantinya, tapi dia tetap enggan, dengan alasan mengatakan aku adalah pemalas. Sudah cukup sering aku menahan sabar terhadap majikanku, tapi apa daya, ini satu-satunya pekerjaan yang kumiliki. Dipecat berarti tidak makan. Aku sendiri masih kurang berani untuk hidup seperti orang jalanan, meminta makan dan uang dari rumah ke rumah. Aku belum punya cukup nyali untuk itu. Aduh….. kutu kasurku sekali lagi menggigitku, badanku sudah cukup banyak bentolan dan cakaran karena selalu kugaruk dengan kuku kotorku. Infeksi atau tidak sudah tidak kupikirkan, yang penting setelah kugaruk, terasa lebih enakan, dan itu sudah cukup.

Seperti biasa, pagi harinya aku selalu bangun pukul 06.00. Ak tidak berani bangun telat, karena akan disiram air dingin oleh majikanku, dan jika mood nya lagi jelek, bisa-bisa aku tidak diberi makan siang, dan untuk makan malam hanya diberi makan sisa seperti yang diberikannya untuk binatang peliharaannya yang lain, yaitu babi. Aku tidak pernah memakannya, karena tidak merasa bahwa perutku cukup kuat untuk menahan makanan basi dan sisa seperti itu. Tapi, satu hal yang kusyukuri sampai saat ini, yaitu aku bukan bagian binatang gembalaan itu, babi.

Sapiku tidak begitu banyak tapi kambingkulah yang terlalu banyak menurutku. Kambing-kambing lebih nakal daripada sapi, mereka lebih gesit dan suka berak di mana saja. Setiap pagi, aku membawa mereka ke lapangan rumput hijau di belakang rumah majikanku. Anehnya, rumput yang selalu dimakani sapi kambingku itu tidak pernah habis, sejak hampir 10 tahun aku tinggal di sini. Umurku 10 tahun. Aku selalu menganggap aku sudah dewasa, mengganggap badanku kekar seperti Arnold. Sekali-kali aku memang diperbolehkan nonton tv majikanku, itupun di malam Natal saat mereka sekeluarga keluar rumah, jadi aku menjadi satpam selama satu hari penuh. Aku merasa seperti tuan rumah, bukan satpam, karena aku bebas melakukan apa saja sejauh aku tidak menyentuh makanan di kulkas, mengotori ruangan, ataupun menyentuh barang pribadi mereka.

Hahaha... lagi iseng mo nulis novel ^^


0Comments:

Post a Comment

<< Home