Pengalaman di Panti Asuhan “Panti Boncel”
Aku pergi ke panti Boncel bersama anak-anak BNCC, sebagai hasil kegiatan BNCC Charity yang baru BNCC adakan di bulan Oktober. Kebetulan ada tugas dari Pak dosen Character Building III “Relasi dengan Tuhan”, yang mana mahasiswa dianjurkan untuk mengunjungi panti asuhan, dan kemudian memberikan laporan hasil kunjungan. Pergi ke sana pasti ada tujuan dan manfaatnya. Kalau bagi aku, manfaatnya, adalah aku bisa tahu kehidupan mereka yang sudah ditinggalkan orang tua, baik sengaja maupun tidak, mental mereka, hubungan antar sesama mereka, dan yang paling penting, adalah aku mensyukuri bahwa papa dan mama menyayangiku. Mama sudah meninggal tahun yang lalu, tapi hatinya hidup di hatiku. Kadang aku merindukannya. Kadang aku bernostalgia akan dia. Kadang aku juga memimpikannya. Aku yakin dan percaya, mama masih memperhatikanku dari sana. Aku cinta mamaku...
Ingatan akan mamaku barusan mengalir kental jika mengingat panti asuhan “Boncel”. Bagaimana tidak, mereka termasuk anak-anak yang kurang beruntung dalam keluarga. Tapi arti kata “tidak beruntung” tidak begitu berarti bagi sebagian dari mereka. Mereka tetap memiliki keluarga di sana, suster-suster yang menjaga mereka, teman-teman yang menemani mereka, dan orang-orang lain yang masih memperhatikan mereka. Jangan pernah ada rasa kasihan pada mereka, karena aku yakin mereka tidak akan suka dikasihani, seolah-olah mereka sudah cacat atau mati. Tidak. Mereka tidak suka akan itu, karena mereka masih memiliki impian, impianlah alasan mereka untuk tetap bertahan di tempat itu. “Suatu saat nanti, aku yakin aku pasti akan bisa kembali dan mencari orang tuaku”, begitu salah satu impian anak yang kami jumpai.
Panti Boncel bukanlah tempat yang menyedihkan. Tempatnya terawat. Katanya panti itu punya banyak donor dan penyumbang. Ada taman bermain yang luas sekali. Banyak ruangan tidur dan ruangan kosong yang sebagian jadi ruang makan dan juga ruang bermain. Dekat pintu ada beberapa foto anak-anak, yang sedang berkunjung ke Taman Safari, merayakan ulang tahun teman-temannya, dan lainnya.
Saat tiba, tempatnya masih sepi. Dimanakah anak-anak ini, kuberpikir. Temanku masih mengurus administrasi dan jadwal susunan acara untuk kunjungan kami. Menunggu itu, aku masih terus menikmati pemandangan tempat itu. Ahhh... rasanya seperti kembali ke dunia anak-anak. Badanku mulai gatal, saat melihat perosotan, ingin sekali main. Tapi, ada perasaan malu dan takut perosotan malah rusak karena badanku yang sudah raksasa ini. Perasaan malu, perasaan yang mulai tumbuh saat dewasa, malu bermain, malu berpenampilan biasa, malu bergaul dengan mereka yang miskin, malu menyebrangi orang tua buta, malu ini dan malu itu. Munafik sekali. Aku kangen rasa tidak tahu malu saat kanak-kanakku.
Ah, ada suster. Setelah berkenalan, dia memberitahu kami bahwa anak-anak sedang berkeliling daerah sana untuk mengucapkan Selamat Idul Fitri kepada seluruh warga. Aku tidak bisa membayangkan betapa lucunya mereka pasti. Manusia-manusia kecil yang kata orang kurang perhatian dan butuh perhatian, tapi kebalikannya, malah mereka yang memberi perhatian ke orang lain. Cukup lama kami menunggu.
(suara anak kecil). Yap, sepertinya mereka sudah pulang. Hum... aku coba mengintip lewat dinding, tapi hanya kelihatan beberapa anak saja. Ooo.... yang lainnya menyusul pulang. Melihat mereka, canggung juga apa yang harus pertama kali aku lakukan. Kenalankah? Gendongkah? Menyapakah? Berpikir terlalu lama malah tidak ada jawaban, malah saat aku mulai berjalan, beberapa anak berlari dan mendekapku. Aku cukup kaget. Awalnya kukira mereka akan malu-malu seperti panti yang sebelumnya pernah kukunjungi, ternyata tidak, malah mereka lebih ramah, malah mereka lebih aktif. Benar, mereka butuh perhatian, mereka merindukannya, tapi ingat, mereka bukan butuh rasa kasihan. Mereka semua kelihatan terawat. Anak kecil, laki-laki, namanya.... lupa... astaga, aku sudah melupakan namanya hanya dalam beberapa hari. Akankah dia marah jika bertemu lagi? Aku yakin tidak, aku masih ingat jelas wajahnya, itulah yang terpenting. Dia menarik tanganku, ingin membawa aku jalan-jalan mengelilingi tempat itu. Hahaha... dia jadi tour guide ku di tempat itu. Mereka menarikku sambil berlari, beberapa malah minta digendong. Hahaha...
Kenakalan memang masih khas milik anak-anak. Bagaimana tidak, ada satu anak yang buang sampah sembarangan, saat ditegur, malah dicuekin. Hahaha... Memaksa anak-anak juga kadang tidak terlalu baik, bukan cara mendidik yang cukup tepat. Akhirnya aku membuangnya di tong sampah tepat di depannya, berharap dia akan meniruku nantinya.
Capek. Aku kenalan dengan seorang suster, namanya Suster Gordensia. Dia kelihatan masih muda. Kutebak, umurnya masih kepala 2 dan malah sepertinya di bawah 25. Aku kagum padanya, meninggalkan kepentingan pribadi, jalan-jalan ke mal, ngafe, ngegosip, dan memilih mengabdi di tempat itu menjaga anak-anak yang ditinggalkan orang tuanya. Aku pun memulai percakapan dengannya. Ternyata dekat panti ini ada Biara, tempat tinggal para suster. Di sebelah panti ini juga ada sekolah TK khusus untuk anak-anak panti Boncel. Dan ternyata di panti ini hanya anak-anak seumuran tingkat TK. Jika mereka sudah memasuki umur yang cukup untuk tingkat SD, mereka akan dipindahkan ke panti lain, yang masih satu yayasan dengan panti Boncel, begitu pula jika sudah seumuran tingkat SLTP, akan dipindahkan lagi ke panti lain, dan seterusnya hingga SMU. Dekat semua panti itu ada sekolah sesuai tingkatannya. Setelah kupikir, manajemennya bagus sekali, sehingga mereka tetap akan tumbuh secara edukatif.
Panti Boncel sendiri dibagi atas 5 ruang, yang disebut ruang 1, ruang 2, ruang 3, ruang 4, dan ruang 5. Masing-masing ruang ada namanya, tapi aku lupa. Pembagian juga didasarkan umur, mulai dari bayi yang belum bisa berjalan, hingga sekitar umur 5 tahun. Ruang bayi tidak boleh dimasuki pengunjung, hanya boleh melihat dari luar yang dibatasi dinding kaca. Masing-masing ruang tersusun rapi beberapa tempat tidur, kembar semua, baik ukuran, sprei, bantal, dan guling. Mungkin supaya tidak saling iri pikirku. Ketika aku bertanya, apakah mereka bisa saling mengiri, dia langsung mengiyakan dan itu sudah pasti. Sudah pasti ya, apalagi mereka tidak mencicipi perhatian orang tua yang seharusnya mereka dapatkan. Hal ini terbukti, ketika aku mulai merangkul anak-anak lain, anak laki-laki yang menjadi ‘tour guide’-ku mulai menarik-narikku menjauhi anak-anak lainnya. Dia juga tidak memperbolehkan aku menggendong anak lain. Hahaha... lucu juga, tapi tetap kurangkul dan kugendong anak lain. Kupikir, dia harus belajar untuk berbagi kepada teman-temannya yang sudah seperti keluarganya.
Aku sempat main pesawat terbang dengan mereka. Caranya, aku menggendong mereka dan secara mendadak aku mengayunkan lenganku, seolah-olah mereka terlempar dan terbang. Cara ini cukup berhasil, anak-anak menyukainya. Celakanya, semuanya minta dimainin. Karena tidak tega, semuanya aku ‘terbangkan’. Hahaha... capek sekali, tapi gembira sekali. Tidak ada kepalsuan, tidak ada kepura-puraan, aku suka anak kecil.
Uniknya lagi, di panti ini, semua anak-anak dari ras atau suku berbeda berkumpul bersama. Mereka saling bergaul tanpa memilih, atau malah mereka bukan menganggap itu perbedaankah? Baguslah jika begitu. Semoga mereka bisa membuktikan ke dunia luar bahwa perbedaan itu bukan untuk saling menjatuhkan, tapi saling mendukung dan membangun, seperti yang terjadi di panti ini. Mereka juga merayakan ulang tahun teman-temannya. Sistem ulang tahun pun sudah diatur di panti ini, tiap 3 bulan sekali, di akhir bulan ketiga terakhir, semua anak yang berulang tahun dalam selang 3 bulan itu akan dirayakan secara bersamaan. Supaya lebih hemat, pikirku. Hihihi... Tapi tetap ada sisi baiknya, kebersamaan akan lebih terasa jika dirayakan bersama.
Akhirnya kita semua berkumpul di sebuah ruang kosong. Di sinilah kami akan membawakan acara kami. Anak-anak duduk berdasarkan ruangnya. Dan baru kusadari, ternyata baju mereka semua sama per ruangnya. Hahaha... Kita bernyanyi bersama, menyelenggarakan kuis, yang mereka sebut “tebak kata”. “Hewan apa yang badannya besar, tapi hidungnya kecil? Hayo... siapa yang tau. Dikasih hadiah loh...”, sang MC mulai merayu anak-anak. Panda, harimau, singa, dan hewan lainnya mulai disebutkan anak-anak. Suasananya ribut sekali, tapi terlihat antusias anak-anak. Terdengar teriakan “Beruang!”. “Yak, benar...”, sang MC membenarkan. Tapi mana anak yang menjawab tadi, sebab setelah dibenarkan oleh MC, semua anak-anak mulai menyebutkan “beruang” dan berharap mereka yang akan dipilih. Lucu sekali... Acara pun ditutup dengan doa setelah semua acara berlangsung.
Pukul 12.00 an, anak-anak berkumpul di ruang makan sesuai ruangan masing-masing. Hari ini mereka makan ketupat yang diberikan oleh warga setempat, ketika mereka berkunjung. Pengunjung tidak diperbolehkan masuk saat mereka makan. Kami hanya bisa melihat mereka dari luar, dan tersenyum. Tidak lama kemudian, kami pun pamitan pulang. Sempat juga berfoto dengan suster Gordensia.
Ahh.... capeknya. Usai sudah kunjungan kami. Tapi masih ada perasaan ingin kembali lagi suatu saat. Seperti yang telah aku ungkapkan di atas, mereka tidak butuh rasa kasihan, karena menurutku, jangan-jangan, malah mental mereka jauh lebih kuat daripada kita-kita, yang mungkin akan merengek jika tidak dibeliin sesuatu yang kita inginkan. Ironis sekali. Aku mulai bersyukur atas semua yang kumiliki, dan semoga suatu saat aku bisa melepaskan ego-ku untuk berbaginya dengan mereka yang kekurangan. Mama, aku cinta kamu. Papa, aku cinta kamu.
0Comments:
Post a Comment
<< Home