Kata per hari
Kalau tidak salah, katanya pria umumnya menghabiskan sekitar 8.000 kata per hari, sedangkan wanita menghabiskan sekitar 15.000 kata per hari. Masa sih? Tapi, aku pribadi percaya sih akan hal ini. Setiap harinya, aku menghabiskan bahkan bisa lebih dari 15.000 kata per hari (feeling). Mulut ini suka sekali ngoceh. Padahal kadang aku merasa orang pun sudah malas mendengar aku bicara. Namun ternyata sulit untuk menahannya. Mulai saat ini, aku ingin mencoba mengurangi jumlah kata per hariku. Jadi, sebelum aku berhasil, maka aku minta maaf ya ama orang-orang sekitarku. Semoga dimaklumi, hehe. Aku ngerti sih, semua orang ingin menyampaikan perasaannya melalui kata-kata. Seandainya ada yang merasa aku sudah keterlaluan ngoceh ga karuan, sehingga menghambat orang lain yang juga ingin bicara, dikasitau aja ye.. jangan didiemin. Hehe...
Lihat kamarku...
Lihat kamarku... Penuh dengan jamur... Ada yang putih, dan ada yang ungu... Setiap hari kupandang semua... Jamur oh jamur, semuanya indah... Lagu dibuat khusus untuk dipersembahkan pada kamarku.
“Yak, selamat malam Jakarta. Hari ini kami akan membawakan sebuah tembang berjudul Kemesraan”, sepintas kalimat yang sering diucapin para seniman jalanan. Keren juga sih klo bisa ucapin “Selamat malam Jakarta”. Pernah denger Ndok ngucapin, rasanya bener-bener mirip seniman (bukan Ndoknya :p). Pengen banget sekali-sekali jadi seniman jalanan, naik turun dari satu bus ke bus lainnya. Tapi khusus malam hari dalam bus ber-AC. Karena penumpang pasti lebih menikmatinya, ketimbang bus non-AC di siang hari. Gimana mo nikmatin musik, wong suara klakson, keringat, dan desak-desakan aja uda menyita semua perhatian. Pernah suatu malam, naik bus ke Tangerang. Semua lagu yang dibawakan para seniman jalanan serasa lagu baru buatku. Aku sungguh menikmatinya. Dari sinilah muncul angan-anganku untuk meniru mereka sekali-sekali. Kepikiran untuk mengajak seseorang yang bisa main gitar. Sampai saat ini, cuma kepikiran Ndok. Abis sapa lagi yang mau ya? Tapi kata Ndok sih, itu ga gampang. Karena biasanya para seniman jalanan itu sudah ada rutenya, dan bisa jadi merebut jatah mereka. Pasti ada prosedur lain-lain, belum lagi tar ketemu preman-preman. Wadoh... apakah seribet itu? Bagi teman-teman yang punya rencana mau nyeniman, ngajak-ngajak ya... hehehe... Rasanya akan menjadi salah satu pengalaman yang akan terus diingat ^^ . Oya, tapi hasil nyenimannya disumbangin, bukan masuk kocek ya. Hehe..
Belakangan sejak partime, aku merasakan wajahku semakin merusak. Sudah dipastikan penyebabnya adalah cahaya matahari, karena aku mengendari motor, dan kadang naik bus. Akhirnya kuputuskan memakai pelembab muka, atau apalah itu namanya, yang penting melindungi wajahku. Temanku bilang, merk xxx (lupa...susah diinget), paling murah 300 ribu, tapi bagus. Bagus karena harganya mahal? Mengingat sejumlah 300 ribu, aku cukup terkejut. Maklum, aku memang agak tidak rela menghabiskan uang banyak untuk hal-hal begituan. Hehehe... memangnya aku rela habisin banyak uang untuk apa ya? Pulsa telepon kali ya. Kapok dah dicekik pulsa telepon tiap bulan. Aku harus bisa mengendalikannya. Untungnya, aku menemukan produk yang agak murah untuk wajahku. Merk Oriflame. Aku beli dari salah satu teman seperjuanganku di BNCC, Stefanie, panggilannya ‘i’. Semoga pembaca mengerti cara mengejanya. Seminggu kemudian baru kupakai, karena lupa kalau aku punya barang gituan. Sebulan kemudian baru kupakai untuk kedua kalinya. Maklum, kuletakkan di dalam lemari, dan aku lupa lagi. Krim wajahnya wangi. Tapi ntah kenapa, rasanya aku memang tidak cocok pakai barang untuk wajah kali ya. Aku termasuk orang yang memproduksi terlalu banyak keringat. Jalan dari kampus Syahdan ke Anggrek saja, keringat sudah mengucur menetes dari wajahku. Untung ada tanganku yang menjadi sapu tangan. Yap, balik ke krim wajah. Karena berkeringat terus, aku tidak rela menghapusnya dengan tanganku. Pasalnya, krim wajahnya jadi sia-sia kupakai. Tapi jika keringat sudah berbulir-bulir, dengan hati terpaksa, aku tetap melapnya. Kali ini dengan hati-hati, agar tidak mengenai bagian wajah yang lain. Setelah kupikir-pikir, aku jadi tidak nyaman. Adakah krim yang bisa mencegah keluarnya keringat? Tapi seram juga ya. Kalau keringatku tidak bisa keluar, bukankah seperti air pembuangan dari tubuh dipaksa masuk ya? Haih..serba salah memang. Kurasa kalau aku jadi cowo, pasti kelihatan lebih macho. Atau kalau jadi kuli, mungkin aku bisa dapat bonus, karena mandor melihat aku sudah kerja sangat super keras. Padahal baru naik tangga 5 lantai saja, belum sempat mengangkat barang apapun. Tapi ternyata aku adalah seorang cewe. Bagaimana kesan cowo-cowo melihat cewe yang suka berkeringat ya? Kotor? Tidak bersih? Jorok? Tidak mandi? Aku sudah kebal terhadap pandangan seperti itu. Pernahkah merasakan, setelah mandi, mengenakan baju, bajunya basah karena keringat? Nah, itu dia. Tidak tahu mengapa. Tapi rasanya pengaruh ke emosional. Misalnya, kalau aku tahu bahwa setelah mandi, aku bisa santai menonton film, maka keringat tidak keluar. Tapi kalau aku tahu bahwa setelah mandi, aku akan bepergian, memakai baju yang jarang dipakai (baju jalan-jalan), otomatis keringat lancar mengucur. Apakah ini sejenis penyakit? Hum... tapi aku akan tetap memakai krim wajah yang telah dibeli. Mungkin setelah sampai ke tempat tujuan, cuci muka, baru memakainya. Agar efeknya terasa di kulit. Hehe... NB : Aku merasa jika memakai tisu untuk mengelap keringatku, bakalan habis banyak. Berapa jumlah pohon yang ditebang hanya untuk keringatku? Dan berapa pula kocek yang harus kukeluarkan untuk beli tisu? Wakakkaka... aku lebih berat ke poin kedua sih ;p Habisnya, bukan keperluan yang penting-penting amat ;p
Aku punya hipotesa. Begini “bau pusar kita sama dengan bau pantat kita”. Setuju tidak? Tidak perlu sulit-sulit mencari cara bagaimana cara membuktikannya. Gunakan tangan. Kalau itu benar, berarti pusar sama kotornya dengan pantat? Tapi mengapa, orang lebih menganggap jijik pantat ya? Sugestikah? Atau memang banyak kumannya? Dan kalau baunya memang sama, apakah kandungannya atau kumannya sama donk ya? Bingung...
Apakah aku lebih suka menyendiri atau bertemu orang banyak? Ketika di organisasi kuliah, aku menemukan bahwa aku lebih suka bertemu banyak orang. Namun, setelah keluar dari organisasi tersebut, aku menyadari bahwa aku lebih suka menyendiri. Kalau begitu, yang manakah bagian diriku yang sebenarnya? Dulu aku sangat menikmati rapat konsep. Sekarang, aku rada malas menghadapinya. Tapi kalau lagi mood, tetap suka bahas konsep. Intinya, sekarang aku bertambah malas. Aku lebih suka melewati hari-hariku dengan bersantai, meskipun jarang kulakukan. Aku membayangkan betapa nikmatnya tinggal di pegunungan atau pantai. Namun untungnya, hingga sekarang, aku tetap memegang prinsip ‘tanggung jawab’. Aku harus cepat menemukan hobiku.
Teman-teman, pengen nanya nih. Emang ada ya kriteria suara kentut yang murahan ama elit? Kata Ndok, suara kentut yang bagus dan elit itu “Dhuttt....”. Masa sih? Hipotesa dibuat-buat sendiri nih. Terus, kalau suara kentut “Prett...” katanya murahan. Ok lah ya, masi kedengaran bagus Dhut daripada Pret. Tapi kalau kentut yang bersuara “Pret - pret pret – pret pret – pret” keren donk ya. Suaranya bernada dan panjang. Bisa jadi musik lagi. Apalagi kalau dicampur Prot dan prepetprepetprepet. Lengkap de akustiknya. Maklumlah ada yang iri ga bisa buat kentut bermusik. “Kalau kentutnya gini, gimana Ndok?”, kata Elly sepanjang hari Minggu, setiap mau kentut. “Itu mah pret pret pret. Mirip suara eek”, kata Ndok. Sepanjang hari pokoknya Elly ga berhasil menciptakan suara kentut Dhutt. Setelah dipikir-pikir, apa spesialnya sih Dhutt? Saya rasa, kentut itu punya suara khasnya masing-masing. Tidak ada suara kentut elit maupun murahan. Tapi yang pasti, kentut tanpa bersuara itu biasanya licik. Karena orang-orang tidak sempat menutup hidung untuk menghindari serangan bau kentut.
Ini nih lagu ciptaan elly untuk ehem-nya : Ndok jelekkk... Kayak monyet.... Tidak lakuuuu... Untung elly mau !!! Kalau mau tahu bagaimana nadanya, tanya aja langsung ^^ Copyright © Elly Fiah NB : Kalaupun putus, pihak kedua, alias Handoko Wiyanto tidak boleh merindukannya, apalagi menyanyikannya sebelum tidur.
Hum... teman-temannya di BDI memanggilnya Koko. Katanya itu nama kecilnya. Sedangkan teman-teman sekolah dan kuliahnya memanggilnya Ndok. Kedua panggilan itu sudah lazim. Kalau begitu, sebagai orang spesialnya, kira-kira apa ya panggilan yang cocok? Atau minimal panggilan itu hanya akan keluar dari mulutku seorang. Handok? Hum...terlalu menghabiskan nafas untuk mengucapkannya. Bayangkan saja berapa jumlah hurufnya. Doko? Lama-lama jadi Toko, Duku... Hum...ngga cocok Awi? Katanya, nama ini mirip acek-acek Cina. Wakakakkaa... Wiyan? Terlalu ribet. Sudah ada huruf W, ada huruf Y lagi. Buset dah... Yanto? Ini paling cocok sih. Tapi sudah ada teman yang dipanggil begini. Jadi ga spesial donk. Yan? Mirip nama cewe. Ngga ah... Wiwi? Wah...ga boleh. Ini mah uda ada yang punya. Hehe... Han? Ini mah panggilan untuk dedeknya. Wahhh... jadi nama apa yang cocok dipanggil khusus oleh orang yang spesial di hatinya? Daripada mikirin ginian, mending mikirin yang lain. Panggilnya udah Ndok aja. Ini dalam keadaan damai alias tidak berantem. Hihihihi...
15 Mei 2006 Onehub (12:48) Hari ini, Onehub pindah kantor baru. Alamatnya di Puri Kencana, tepatnya depan tol. Situasi kantor, secara pribadi, lebih nyaman yang sekarang. Soalnya langsung di hadapan saya adalah jendela besar, langsung melihat langit. Cahaya matahari juga masuk. Dibandingkan yang dulu, bisa dibilang terisolasi. Tidak ada cahaya matahari yang masuk. Ada hujan pun tidak tahu. Kecuali melongok mengintip ke kamar Babe (panggilan bos disini). Tidak tahu darimana asal sebutan itu. Mungkin supaya lebih terlihat akrab. (Tapi selanjutnya ingin mencari tahu mengapa). Oya, namun ada satu kekurangan di kantor baru ini, dispenser terletak di lantai 2; sedangkan ruang kerja di lantai 3. Pasti bakal malas ambil minum. Bukan alasan sih... Tapi adakalanya sulit mengendalikan perasaan malas. Teringat kata malas, jadi teringat yang pernah Ndok omongin. “Kalau di pagi hari, rasanya kita sulit bangun pagi untuk pergi kerja, adalah dikarenakan lemahnya syaraf. Bukan malas.” Senangnya hatiku mendengarkan pernyataan ini. Berarti saya bukan orang yang malas, tapi lemah syaraf. Hum..masi kurang bagus kata-katanya. Berarti saya bukan orang yang malas, tapi kecapean. Nah, ini baru keren. Kesannya seharian uda banting tulang bekerja. Hehehe... Balik ke topik awal, secara keseluruhan, lingkungan kantor baru lebih nyaman. Tapi kalau naik angkot ribet juga, musti jalan cukup jauh. Tidak boleh jadi alasan. Ingat aja, orang jaman dulu jalannya malah lebih jauh.
24 April 2006. Onehub (14:44) Belakangan ini, lagi bingung masalah kerjaan. Apakah ingin mencoba yang baru dengan meninggalkan yang lama atau terus melanjutkan yang lama. Temen w pernah bilang, Yos, ingat tujuan awal kita kerja. Setelah w ingat-ingat, tujuan awal w adalah pengalaman dan uang. Pengalaman, karena sekaligus tahu praktek dari pelajaran teori kuliah selama ini. Uang, karena banyak keinginan yang ingin w beli. Awalnya, semua terasa baru. Semangat sekali rasanya. Tapi lama-lama, kok jadi biasa ya. Apalagi w cuma partime, jadi ga ikutin bener-bener. Jadi, poin pertama hilang sudah. Tinggal poin kedua. Pernah dijanjikan, setelah tiga bulan, jika kinerja bagus, bisa naik gaji. Tapi, w ga berani ngomong. Karena w merasa kerjaan w juga ga banyak, jadi rasanya ga fair banget klo minta naik gaji. So, poin kedua juga da hilang. Terus? Tapi masih takut melepaskannya, karena rasanya masih butuh uang bulanan. Berarti w harus mencari yang baru, baru keluar. Atau tidak perlu mencari kerjaan tetap? Ikut freelance aja di berbagai tempat, yang tidak mengharuskan masuk kantor, gimana? Hum... tapi masih takut akan ketidakpastian kerja proyek gituan. Hehe... Hum... tapi kadang terasa sedih. Waktu istirahat semakin sedikit. Jenuh rasanya... Apakah w sudah terlalu workalholic? Atau karena belum terbiasa saja? Meskipun sudah lama aktif di organisasi, ternyata masalah time management tetap aja eksis. Atau mungkin bukan salah time management, tapi melainkan sudah kebanyakan kerjaan? Salah satu teman w bilang klo w itu Hiperaktif. Tapi orang yang w sayangi pernah ingatkan mengenai Hiu Kecil. Hiu kecil inilah yang membuat w terus bertahan. Tapi suatu saat, w bertanya lagi, dia malah menyebutkan satu kata, Keserakahan. Hum...jadi bingung de.. hehe... Tapi yang pasti, apa yang sudah diambil harus diselesaikan, kemudian baru dipikirkan selanjutnya. Papa w sendiri pernah bilang “Jangan kerja mulu, tapi perhatikan kesehatan juga”. Benar banget sih. Klo uda gajian terus masuk rumah sakit kan ga lucu. Hehe... makanya, kepikiran juga masuk asuransi. Jaga-jaga kalau sakit, hihihi... sekalian komisi kan masuk kantong sendiri juga, hehe.... Terus... karena ga ada waktu, jadi hati suka bimbang. Hidup seperti ombang-ambing, ga ada fondasi. W merasa makin jauh dari Tuhan. Makanya pengen mendekatkan diri lagi. Tapi ternyata susahnya minta ampun. Untung ada teman-teman yang ngga pernah bosen ngajakin. Meskipun selalu w batalin karena malas atau karena uda PW depan TV. Sebenarnya w pengennya apa sih? Sampai sekarang belum tahu pasti, tapi uda ada calon-calonnya. Dan sekarang sudah mulai mencobanya satu per satu. Semoga keinginan travelling tar kecapaian deh. Ntah jadi tour guide kek... hehe.... Wah...lama ga nulis, kayaknya makin kacau de penulisannya... hehe.. ya wes, ampe sini dulu. Hehe...
|